irwantoshut.com
 


 
 
 

 



KONTRIBUSI KONSERVASI GENETIK
DALAM PROGRAM PEMULIAAN POHON
DI INDONESIA

Pengelolaan materi genetik lewat program selfing untuk sifat tertentu dan out-crossing untuk memperluas basis genetik sangat bermanfaat dalam memantau populasi breeding, sehingga kinerja program pemuliaannya dapat diprediksi secara lebih akurat.

Pentingnya pengelolaan sumberdaya genetik untuk beberapa komoditas penting tanaman kehutanan beberapa kiranya dapat dicontohkan. Diantaranya adalah dari analisis isoenzyme dengan 3 sistem enzim (EST, GOT, ShDH) dan 7 alle pada populasi hutan tanaman dan kebun benih Pinus merkusii di Jawa memiliki variasi genetik yang moderat, He (expected herezygosity) berkisar 0,259 (Na'iem and Indrioko, 1996). Sedangkan pada populasi hutan alam di Aceh variasi genetik sangat besar yaitu sebesar 0,304 (Na'iem, 2000).

tectona grandis

Untuk keperluan breeding lebih lanjut maka adanya infusi genetik dari populasi alami kiranya perlu dilakukan.

Demikian juga observasi yang dilakukan pada Jati (Tectona grandis), di Indonesia, menunjukkan bahwa dengan menggunakan 10 allozyme loci ditemukan bahwa jati di Indonesia memiliki keragaman genetik yang rendah dibanding dengan Jati India maupun Thailand (Kartadikara ,1995). Namun demikian penampilan di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya, seperti veneer, doreng, sungu, lengo, keling, more, kapur, duri dll.

Pada saat ini konsumen hanya memerlukan jati veneer karena berbatang lurus, dengan tekstur halus dan tidak berwarna. Namun bukan tidak mungkin karena perobahan pasar varietas lain juga akan dicari oleh konsumen. Sehubungan dengan itu konservasi plasma nutfah jati yang saat ini sedang dirintis, serta rencana pertukaran materi genetik untuk memperluas basis genetik dari negara sebaran alami jati dari negara menjadi hal yang sangat penting.

Keragaman genetik Acacia mangium sebagai species andalan Indonesia dalam memproduksi bubur kertas, dilaporkan bahwa antara populasi ras lahan di Subanjeriji, di Sumatra Selatan dengan beberapa populasi alam Maluku, Irian Jaya, Papua New Guinea dan Queensland dengan menggunakan penanda RFLP (ristriction fragmefit length polymorphism) menunjukkan bahwa hutan tanaman di Subanjeriji hanya memiliki 56% dari tingkat keragaman yang dimiliki oleh populasi alami (Butcher et al. 1996). Sementara dibanding dengan Acacia lainnya yaitu A. ardacocarpa, A.crassicarpa, A. auriculiformis, dengan menggunakan penanda RAPD (random amplified polymorphic DNA) maupun dengan penanda isozyme (Rimbowanto, 2000; Moran et al. 1989) , ternyata A. marrgihm memiliki keragaman yang paling rendah. Dengan hasil ini jeias keberadaan areal plasma nutfah baik A. mangium sebagai bahan infusi genetik maupun jenis Acasia lainnya sebagai materi untuk hibridisasi sangat diperlukan.

Demikian halnya dengan Paraserianthes falcataria, species primadona kayu pertukangan yang saat ini banyak dikembangkan di hutan rakyat terutama pada areal-areal dengan elevasi tinggi, juga menunjukkan kecenderungan bahwa hutan tanaman memiliki variasi genetik yang rendah. Seido et al. (1993), melaporkan bahwa keragaman genetik dengan 4 allozyme loci sebagai penanda menunjukkan bahwa populasi hutan tanaman P. falcataria di Jawa (Bogor, Purworejo dan Kediri) memiliki keragaman yang rendah dan hampir sama antar populasi. Tingkat keragaman ini jauh lebih rendah dibanding keragaman populasi alami dari Wamena Irian Jaya. Hasil uji provenan dan uji keturunan P.. falcataria di beberapa lokasi juga menunjukkan bahwa provenan Wamena dan Solomon memiliki pertumbuhan yang jauh lebih bagus dibanding provenan sengon dari Jawa. Perpaduan antara hasil penelitian molekuler genetik di laboratorium dan observasi pertumbuhan langsung dilapangan ini memberikan informasi yang lebih lengkap tentang pentingnya konservasi sumberdaya genetik dalam meningkatkan produktivitas hutan.

Dalam upaya pembudidayaan dan pengembangan indigenous species seperti jenisjenis Shorea atau fam. Dipterocarpaceae secara umum, perlunya konservasi areal plasma nutfah kiranya tidak dapat ditunda lagi. Informasi pelaksanaan proyek Exsitu Conservation of Shorea leprosula and Lophopetalum multinervium and their use for Future Breeding and Biotechnology, menunjukkan bahwa upaya mengumpulakan materi S. leprosula baik dalam bentuk biji maupun wilding bukan lagi merupakan pekerjaan yang mudah karena deforestasi, fragmentasi, dan bencana alam (ITTO project PD 16/96 Rev. 4(F). Seiring dengan semakin sulitnya pengumpulan materi genetik berbagai shorea yang umunrnya bernilai ekonomis tinggi, beberapa jenis species rawa dan pantai seperti pule (Alstonia sp.) jelutung (Diera sp), prupuk (Lophopetalum sp) dan Nyamplung (Canophyllum sp. ) dan ramin (Gonystilus sp) juga sudah semakin langka. Melengkapi informasi kelangkaan , tersebut, maka keberadaan beberapa kayu mewah seperti kayu besi (Etrsideroxylon zwageri) , Cendana (Santalum album), Eboni (Diospyros celebica), Kayu kuku (Pericopsis mooniaWZ), merbau (Instia bijuga), damar (Agathis sp), Dipterocarpus sp dan jenis Shorea lainnya juga sudah mulai sulit ditemukan.

Padahal kelangkaan jenis jenis ini selalu diikuti oleh perobahan atau hilangnya jenis asosiasi yang sebelumnya ada dalam habitat klimak. Dan apabila ini terjadi maka pasti sangat banyak materi genetik yang belum sempat dikembangkan dan dimanfaatkan terutama untuk keperluan industri hutan non kayu (obat-obatan, kosmetik, rempah-rempah, industri warna alami dll.) telah terlanjur punah sebelum sempat dimanfaatkan.

Adanya perkembangan baru bidang bioteknologi menghasilkan hubungan yang sangat potensial dan produktif dalam memanfaatkan keragaman sumberdaya genetik secara lestari. Dengan bioteknologi akan dapat meningkatan nilai keragaman genetik suatu species baik yang terdapat dialam maupun pada tanaman yang telah terdomestikasi. Bioteknologi dapat berperan dalam mentransfer materi genetik dari suatu negara atau tempat dimana mereka berasal ke negara atau tempat dimana mereka diperlukan. Untuk komoditas tanaman perkebunan yang telah lama didomestikasi dan dimuliakan serta secara umumnya lebih bernilai ekonomis, teknik ini telah dimanfaatkan dengan baik. Seperti sawit, coklat, ketela pohon, karet, jagung, umbi-umbian dan beberapa buah buahan yang sebenarnya berasal dari Africa atau America Latin telah dikembangkan secara besar besaran di Asia. Sebaliknya beberapa tanaman yang berasal dari negara berkembang seperti kopi, pisang tebu telah optimal dikembangkan di America (Mc. Neely, 1993). Sudah barang tentu untuk upaya pemuliaan lebih lanjut dari komuditas perkebunani ini perlu ditunjang dengan pertukaran materi genetik secara kontinyu. Demikian pula halnya dengan komoditas kehutanan, terutama untuk tujuan breeding dan pengembangan jenis jenis yang bernilai ekonomis tinggi, benih bersifat recalsitran ataupun jenis jenis yang sudah mulai langka dan terancam keberadaanya dimasa mendatang, maka peran bioteknologi menjadi alternatif pilihan yang layak dipertimbangkan. Untuk itu semua keberadaan areal sumber daya genetik menjadi sangat penting dan perlu dipertahankan.

dna detection genetic dna detection genetic detection genetic cell detection  

PUSTAKA :

Na’iem, M, 2001. Konsevasi Sumberdaya Genetik untuk Pemuliaan Pohon. Seminar Sehari 70 Tahun Prof. Oemi H. Suseno; Peletakan Dasar-dasar dan Strategi Pemuliaan Pohon Hutan di Indonesia. Yogyakarta.
Oemi, H.S, 2000. Pemuliaan Pohon Hutan Indoensia Menghadapi Tantangan Abad 21. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Oemi, H.S, 2001. Peletakan Dasar-Dasar dan Strategi Pemuliaan Pohon Hutan di Indoensia. Orasi Ilmiah Purna Tugas. Prof. Dr. Ir. Hj. Oemi Hani’in Suseno. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Wright, J.W, 1976. Introduction to Forest Genetics. Academic Press, Inc. San Diego California.
Zobel, B and John Talbert, 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley and Sons, Canada.

   
  HUBUNGAN KONSEPTUAL ANTARA KERAGAMAN DAN PEROLEHAN GENETIK
   
1 Penyebab dan Bentuk Keragaman / Variasi
 
2 Kekuatan yang Membentuk Variasi Genetik
 
3 Variasi disebabkan oleh Manusia
 
4 Keragaman/Variasi yang disebabkan Oleh Manusia
 
5 Mendeteksi Variasi Asal Usul / Silsilah Tapak
 
6 Pemeliharaan Keragaman / Variasi Genetik
 
7 Pelestarian Sumberdaya Genetik
 
8 Kontribusi Konservasi Genetik Dalam Program Pemuliaan Pohon Di Indonesia
   

 

POHON POHON

 

DNA, also known as deoxyribonucleic acid, is a thin, chainlike molecule found in every living cell on earth. It directs the formation, growth, and reproduction of cells and organisms. Short sections of DNA called genes determine heredity- that is, the passing on of characteristics-in living things. DNA is found mainly within a cell's nucleus, in threadlike structures called chromosomes. DNA even occurs in bacterial cells, which do not have a nucleus, and in some viruses. All DNA consists of thousands of smaller chemical units called nucleotides. Nucleotides are chemically bonded to one another to form thin, chainlike molecules known as polynucleotides. Each nucleotide contains a compound called a phosphate, a sugar called deoxyribose, and a compound called a base. The phosphate and sugar are the same in all DNA nucleotides, but the bases vary. There are four DNA bases: (1) adenine, (2) guanine, (3) thymine, and (4) cytosine. The exact amount of each nucleotide and the order in which they are arranged are unique for every kind of living thing.

HOME
GLOBAL WARMING
INDONESIA FOREST
INDONESIA BIODIVERSITY
CDM IN INDONESIA
MANGROVE FOREST
THE IMPORTANCE OF TREES
FOREST AND ECOLOGY
KIND OF CONSERVATION
KIND OF BIODIVERSITY
HOW PLANTS GROW
FOREST PICTURES
FACEBOOK
PENELITIAN
PAPER / ARTIKEL
KULIAH KEHUTANAN
PERJALANAN
DIARY
GALERI PHOTO
INFO SEPUTAR HUTAN
PROSIDING NFP
KESEHATAN TUBUH
KOTA AMBON
UNIVERSITAS PATTIMURA
TIPS MAHASISWA
BIODATA IRWANTO
PHOTO PRIBADI
FACEBOOK IRWANTO